Puasa tentu bukan sekadar menahan lapar, dahaga dan hubungan seks. Yang teramat penting puasa sebagai latihan spiritual untuk mencontoh sifat-sifat Tuhan, sebagaimana dalam hadis takhallaqu bi akhlaqillah "(berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah Swt). Al Qur'an menyebutkan "huwa yuth'im wa la yuth'am" (Tuhan memberi makan dan tidak diberi makan) (QS 6:14) dan "lam takun lahu shahibah" (Tuhan tidak memiliki pasangan) (QS 6:101).
Bukankah dalam berpuasa kita tidak boleh makan, minum, dan berhubungan seks, sebaliknya kita diwajibkan berzakat fitrah, yaitu memberi makan kepada orang yang butuh. Harapan terakhir kita dengan menjalankan ibadah puasa agar kita mencapai kualitas 'insan kamil' (manusia paripurna), suatu kualitas spiritual yang paling diidealkan oleh umat Islam. Insan Kamil sesungguhnya tidak lain adalah internalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri kita sebagaimana dicontohkan oleh pribadi Rasulullah SAW.
Akhlak Tuhan dapat dikenal melalui sifat-sifat-Nya sebagaimana tergambar dalam nama-nama indah-Nya (al-Asma al-Husna). Ibarat seuntai tasbih nama-nama Indah itu berjumlah 99, dimulai dari lafzh al-jalâlah (Allah), dengan simbol angka 0 (nol), yang biasa dianggap angka kesempurnaan, disusul dengan ar-Rahman (Maha Pengasih), ar-Rahim (Maha Penyayang), al-Lathif (Maha Lembut), al-Jamal (Maha Indah), dan seterusnya sampai ke angka 99, ash-Shabur (Maha Sabar) dan kembali lagi ke angka nol, Allah (lafz al-Jalalah), atau kembali ke pembatas besar dalam untaian tasbih. Simbol angka nol berupa lingkaran atau titik, menggambarkan siklus kehidupan bagaikan sebuah lingkaran, yang bermula dan berakhir pada satu titik, yang diistilahkan oleh Al Qur'an: inna li Allah wa inna ilaihi raji'un (kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya).
Tuhan memiliki kesempurnaan, antara lain tercermin dari keutuhan dua sifat-sifat sejati di dalam dirinya, yaitu sifat-sifat maskulinitas ("The Masculine God") dan sifat-sifat femininitas ("The Feminine God"). Di antara 99 nama indah-Nya, yang lebih dominan ialah sifat-sifat feminitas. Ini mengisyaratkan bahwa Tuhan lebih dominan sebagai pengasih dan penyayang daripada pemurka dan pendendam. Seseorang yang mendekati Tuhan lewat pintu feminin akan mengesankan Tuhan bersifat immanen, dekat, berserah diri, dan lebih tepat dicintai daripada ditakuti. Sebaliknya, seseorang yang mendekati Tuhan lewat pintu maskulin akan mengesankan Tuhan bersifat transenden, jauh, dominan, struggeling, dan menakutkan.
Di dalam bulan suci Ramadan, Tuhan lebih terasa sebagai The Feminine God daripada The Masculine God. Menurut para sufi, jalur tercepat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Tuhan ialah jalur yang pertama. Bahkan Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi pernah mengatakan kepada muridnya: "Jika kalian ingin memotong jalan menuju Tuhan, terlebih dahulu kalian harus menjadi 'perempuan'. Menurutnya, unsur kelelakian merepresentasikan sifat al-jalal Tuhan, sedangkan unsur keperempuanan merepresentasikan sifat al-jamal Tuhan. Dalam bulan suci Ramadan, yang juga disebut bulan cinta (syahr al-hubb), Tuhan lebih banyak memperkenalkan dirinya sebagai The Feminine God.
Salah satu bentuk kemahapengasihan Tuhan ialah menganugerahkan bulan Ramadan (secara harfiyah: penghancur, penghangus). Setelah 11 bulan hambanya terasing di dalam kehidupan yang kering dan penuh dengan suasana pertarungan (power struggle), maka dalam bulan Ramadan ini kita diajak untuk kembali ke kampung halaman rohani, yang basah dan menyejukkan, serta penuh dengan suasana lembut (nurturing). Bulan Ramadlan ibarat oase di tengah padang pasir, memberikan kepuasan kepada kafilah yang sedang berlalu. Bulan Ramadlan adalah manifestasi dari rahmâniyah dan rahimiyah Tuhan.
Sebagai orang yang berpuasa, selayaknya tidak saja menaruh kasih dan perhatian kepada sesama manusia, melainkan juga kepada makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Idealnya orang yang berpuasa sudah dapat menciptakan kualitas ukhuwwah basyariyyah, ukhuwah islamiyyah, dan ukhuwah makhluqiyyah.
Kualitas muttaqin yang dijanjikan Tuhan bagi mereka yang menjalankan puasa secara ikhlas dan baik bukanlah janji sederhana. Kualitas muttaqin merupakan dambaan setiap orang. Selain akan dilihat sebagai rahmat oleh sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, yang bersangkutan juga akan mendapatkan pengalaman spiritual yang mengasyikkan.
Seorang yang memiliki Taqwa akan merasakan kelapangan dada, meniru sifat Tuhan yang Maha Lapang (al-wasi'). Hujatan dan celaan atau pujian dan sanjungan apapun yang diadreskan orang kepadanya tidak lagi akan ditanggapi secara emosi berlebihan karena dadanya sedemikian lapang mampu menampung semuanya. Orang yang bertaqwa sulit dikenali kapan ia ditimpa mushibah dan kapan ia dikaruniai rezki. Ia memberikan respon yang biasa semua yang datang kepadanya. Berbeda orang yang tidak memiliki unsur ketaqwaan, selalu diwarnai suasana batin yang fluktuatif, jika dihujat maka dadanya terasa sumpek dan jika disanjung lehernya akan bertambah panjang.
Orang yang bertaqwa akan menyadari Allah swt sebagai Tuhan makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia sebagai makhluk mikrokosmos merupakan bagian yang teramat kecil di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Meskipun dipercaya oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi (khala'if al-ardh), manusia tidak sepantasnya mengklaim Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan manusia daripada Tuhan makrokosmos, karena pemahaman yang demikian dapat memicu egosentrisme manusia untuk menaklukkan, menguasai, dan mengekploitasi alam raya sampai di luar amban daya dukungnya; bukannya bersahabat dan berdamai sebagai sesama makhluk dan hamba Tuhan.
Tuhan tidak hanya memerhatikan kepentingan manusia, sebagaimana pemahaman yang keliru sebagian orang terhadap konsep penundukan alam raya (taskhir) kepada manusia. Seolah-olah konsep taskhîr adalah "SIM" untuk menaklukkan alam semesta. Padahal, konsep taskhir sebenarnya bertujuan untuk merealisasikan eksistensi asal segala sesuatu itu sebagai "the feminine nature" yang mengacu kepada keseimbangan kosmis dan ekosistem.
Manusia sebagai khalifah selayaknya menjalankan fungsi kekhalifahannya senantiasa mengidentifikasikan diri dengan "The Feminine God". Sekiranya demikian maka sudah barang tentu tidak akan pernah terjadi disrupsi lingkungan alam dan lingkungan sosial; sebaliknya, yang akan terjadi adalah kedamaian kosmopolit (rahmatan li al-'alamin) di tingkat makrokosmos dan negeri tenteram di bawah lindungan Tuhan (Baldah Thayyibah wa Rab al-Gafûr) di tingkat mikrokosmos.
Hanya bagi mereka yang berpuasa yang dapat menjelaskan kaitan antara mikrokosmos, Tuhan, dan makrokosmos. Mereka akan merasakan bagaimana peranan puasa dalam menjalankan misi dan kapasitasnya sebagai khalifah dan representatif Tuhan di bumi.
Orang-orang yang demikian inilah sesungguhnya yang menjalankan konsep ketauhidan yang paling ideal. Mereka menganggap dirinya sebagai makhluk mikrokosmos yang mempunyai konsep kesatuan dengan makhluk makrokosmos. Di tingkat kemanusiaan, mereka dengan sendirinya berupaya menyingkirkan berbagai kesenjangan sosial yang ada di dalam masyarakat dalam upaya mewujudkan keutuhan sesama makhluk mikrokosmos. Konsep integralistik secara internal dan secara eksternal inil merupakan perwujudan prilaku insan kamil dan inilah konsep tauhid yang sesungguhnya.
Sumber: www.detik.com
Bukankah dalam berpuasa kita tidak boleh makan, minum, dan berhubungan seks, sebaliknya kita diwajibkan berzakat fitrah, yaitu memberi makan kepada orang yang butuh. Harapan terakhir kita dengan menjalankan ibadah puasa agar kita mencapai kualitas 'insan kamil' (manusia paripurna), suatu kualitas spiritual yang paling diidealkan oleh umat Islam. Insan Kamil sesungguhnya tidak lain adalah internalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri kita sebagaimana dicontohkan oleh pribadi Rasulullah SAW.
Akhlak Tuhan dapat dikenal melalui sifat-sifat-Nya sebagaimana tergambar dalam nama-nama indah-Nya (al-Asma al-Husna). Ibarat seuntai tasbih nama-nama Indah itu berjumlah 99, dimulai dari lafzh al-jalâlah (Allah), dengan simbol angka 0 (nol), yang biasa dianggap angka kesempurnaan, disusul dengan ar-Rahman (Maha Pengasih), ar-Rahim (Maha Penyayang), al-Lathif (Maha Lembut), al-Jamal (Maha Indah), dan seterusnya sampai ke angka 99, ash-Shabur (Maha Sabar) dan kembali lagi ke angka nol, Allah (lafz al-Jalalah), atau kembali ke pembatas besar dalam untaian tasbih. Simbol angka nol berupa lingkaran atau titik, menggambarkan siklus kehidupan bagaikan sebuah lingkaran, yang bermula dan berakhir pada satu titik, yang diistilahkan oleh Al Qur'an: inna li Allah wa inna ilaihi raji'un (kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya).
Dalam perspektif tasawuf, nama-nama indah Tuhan bukan hanya menunjukkan sifat-sifat Tuhan, tetapi juga menjadi titik masuk (entry point) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap orang dapat mengakses dan mengidentifikasikan diri dengan nama-nama tersebut. Seseorang yang pernah berlumuran dosa lalu sadar, dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri melalui identifikasi diri dengan nama al-Ghafûr (Maha Pengampun) dan at-Tawwab (Maha Penerima Taubat), sehingga yang bersangkutan tetap mempunyai harapan dan tidak perlu kehilangan semangat hidup.
Tuhan memiliki kesempurnaan, antara lain tercermin dari keutuhan dua sifat-sifat sejati di dalam dirinya, yaitu sifat-sifat maskulinitas ("The Masculine God") dan sifat-sifat femininitas ("The Feminine God"). Di antara 99 nama indah-Nya, yang lebih dominan ialah sifat-sifat feminitas. Ini mengisyaratkan bahwa Tuhan lebih dominan sebagai pengasih dan penyayang daripada pemurka dan pendendam. Seseorang yang mendekati Tuhan lewat pintu feminin akan mengesankan Tuhan bersifat immanen, dekat, berserah diri, dan lebih tepat dicintai daripada ditakuti. Sebaliknya, seseorang yang mendekati Tuhan lewat pintu maskulin akan mengesankan Tuhan bersifat transenden, jauh, dominan, struggeling, dan menakutkan.
Di dalam bulan suci Ramadan, Tuhan lebih terasa sebagai The Feminine God daripada The Masculine God. Menurut para sufi, jalur tercepat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Tuhan ialah jalur yang pertama. Bahkan Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi pernah mengatakan kepada muridnya: "Jika kalian ingin memotong jalan menuju Tuhan, terlebih dahulu kalian harus menjadi 'perempuan'. Menurutnya, unsur kelelakian merepresentasikan sifat al-jalal Tuhan, sedangkan unsur keperempuanan merepresentasikan sifat al-jamal Tuhan. Dalam bulan suci Ramadan, yang juga disebut bulan cinta (syahr al-hubb), Tuhan lebih banyak memperkenalkan dirinya sebagai The Feminine God.
Salah satu bentuk kemahapengasihan Tuhan ialah menganugerahkan bulan Ramadan (secara harfiyah: penghancur, penghangus). Setelah 11 bulan hambanya terasing di dalam kehidupan yang kering dan penuh dengan suasana pertarungan (power struggle), maka dalam bulan Ramadan ini kita diajak untuk kembali ke kampung halaman rohani, yang basah dan menyejukkan, serta penuh dengan suasana lembut (nurturing). Bulan Ramadlan ibarat oase di tengah padang pasir, memberikan kepuasan kepada kafilah yang sedang berlalu. Bulan Ramadlan adalah manifestasi dari rahmâniyah dan rahimiyah Tuhan.
Sebagai orang yang berpuasa, selayaknya tidak saja menaruh kasih dan perhatian kepada sesama manusia, melainkan juga kepada makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Idealnya orang yang berpuasa sudah dapat menciptakan kualitas ukhuwwah basyariyyah, ukhuwah islamiyyah, dan ukhuwah makhluqiyyah.
Kualitas muttaqin yang dijanjikan Tuhan bagi mereka yang menjalankan puasa secara ikhlas dan baik bukanlah janji sederhana. Kualitas muttaqin merupakan dambaan setiap orang. Selain akan dilihat sebagai rahmat oleh sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, yang bersangkutan juga akan mendapatkan pengalaman spiritual yang mengasyikkan.
Seorang yang memiliki Taqwa akan merasakan kelapangan dada, meniru sifat Tuhan yang Maha Lapang (al-wasi'). Hujatan dan celaan atau pujian dan sanjungan apapun yang diadreskan orang kepadanya tidak lagi akan ditanggapi secara emosi berlebihan karena dadanya sedemikian lapang mampu menampung semuanya. Orang yang bertaqwa sulit dikenali kapan ia ditimpa mushibah dan kapan ia dikaruniai rezki. Ia memberikan respon yang biasa semua yang datang kepadanya. Berbeda orang yang tidak memiliki unsur ketaqwaan, selalu diwarnai suasana batin yang fluktuatif, jika dihujat maka dadanya terasa sumpek dan jika disanjung lehernya akan bertambah panjang.
Orang yang bertaqwa akan menyadari Allah swt sebagai Tuhan makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia sebagai makhluk mikrokosmos merupakan bagian yang teramat kecil di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Meskipun dipercaya oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi (khala'if al-ardh), manusia tidak sepantasnya mengklaim Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan manusia daripada Tuhan makrokosmos, karena pemahaman yang demikian dapat memicu egosentrisme manusia untuk menaklukkan, menguasai, dan mengekploitasi alam raya sampai di luar amban daya dukungnya; bukannya bersahabat dan berdamai sebagai sesama makhluk dan hamba Tuhan.
Tuhan tidak hanya memerhatikan kepentingan manusia, sebagaimana pemahaman yang keliru sebagian orang terhadap konsep penundukan alam raya (taskhir) kepada manusia. Seolah-olah konsep taskhîr adalah "SIM" untuk menaklukkan alam semesta. Padahal, konsep taskhir sebenarnya bertujuan untuk merealisasikan eksistensi asal segala sesuatu itu sebagai "the feminine nature" yang mengacu kepada keseimbangan kosmis dan ekosistem.
Manusia sebagai khalifah selayaknya menjalankan fungsi kekhalifahannya senantiasa mengidentifikasikan diri dengan "The Feminine God". Sekiranya demikian maka sudah barang tentu tidak akan pernah terjadi disrupsi lingkungan alam dan lingkungan sosial; sebaliknya, yang akan terjadi adalah kedamaian kosmopolit (rahmatan li al-'alamin) di tingkat makrokosmos dan negeri tenteram di bawah lindungan Tuhan (Baldah Thayyibah wa Rab al-Gafûr) di tingkat mikrokosmos.
Hanya bagi mereka yang berpuasa yang dapat menjelaskan kaitan antara mikrokosmos, Tuhan, dan makrokosmos. Mereka akan merasakan bagaimana peranan puasa dalam menjalankan misi dan kapasitasnya sebagai khalifah dan representatif Tuhan di bumi.
Orang-orang yang demikian inilah sesungguhnya yang menjalankan konsep ketauhidan yang paling ideal. Mereka menganggap dirinya sebagai makhluk mikrokosmos yang mempunyai konsep kesatuan dengan makhluk makrokosmos. Di tingkat kemanusiaan, mereka dengan sendirinya berupaya menyingkirkan berbagai kesenjangan sosial yang ada di dalam masyarakat dalam upaya mewujudkan keutuhan sesama makhluk mikrokosmos. Konsep integralistik secara internal dan secara eksternal inil merupakan perwujudan prilaku insan kamil dan inilah konsep tauhid yang sesungguhnya.
Sumber: www.detik.com
Ikuti @ilove_ramadhan