"Del, Mama bekali roti isi cokelat, yah?" tanya saya sembari menyusun isi kotak makan siang anak-anak dan suami.
"Iyah. Tapi... huh... pasti pada minta-minta," keluhnya.
"Minta-minta?"
"Iyah, Ma!" si Sulung ikut menimpali, "...di sekolah tuh, anak-anaknya pada minta-minta. Terus kalo gak dikasih, bilangnya gini, '...kalo gak ngasih, gak jadi temen!' ..."
"...atau dibilangi, 'dasaaar, pelit luh!' " imbuh Si Tengah lagi.
"Aduh, kenapa begitu, ya? Apa gak punya harga diri? Dari kecil sudah gampang minta-minta, dan jadi marah kalo gak dikasih," keluh saya sambil menutup tempat bekal.
***
Ada sebuah hadits yang sangat popular tentang kebaikan “tangan di atas daripada tangan di bawah”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْه ِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ ، وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.
"Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barangsiapa mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya. Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)." [alhadits]
Yang namanya anak-anak, wajar saja kalau marah jika tidak diberi. Namun, tradisi seperti ini nampaknya tidak begitu membudaya di masyarakat Jepang, pun kanak-kanak. Suatu ketika anak saya pernah mengomentari masalah ini.
"Iyah, Ma! Beda banget dengan teman di Jepang. Jarang ada yang mau minta-minta, puraido ga takai [pride-nya tinggi]," kata Si Sulung lagi.
Saya ingat dulu, Si Sulung selalu membawa bekal ke sekolah, sementara teman-temannya makan masakan di sekolah. Sesekali saya berniat melebihkan isi bekalnya karena seorang anak yang sering main di rumah, sangat menggemari jenis makanan yang baru saya buat tersebut.
"Nggak boleh, Ma. Nggak boleh bagi-bagi makanan dari rumah di sekolah," tolak Si Sulung saat itu.
Meski terdengar aneh dan asing di 'telinga Indonesia' saya --sedikit banyak-- mengerti tujuan larangan tersebut. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Kerap ada kasus kejahatan meracuni orang di Jepang. Wajar bila pihak sekolah berhati-hati untuk melindungi anak didiknya. Tidak tanggung-tanggung. Masakan di sekolah pun, harus dicek dulu aman tidaknya oleh kepala sekolah.
Beliau diwajibkan makan sejam sebelum tibanya waktu makan siang anak-anak. Agar bila masakan di sekolah itu berbahaya, selaku pimpinan, beliau yang lebih dulu ambil resiko terkena dampaknya. Padahal, yang masak adalah koki 'kiriman' pemerintah yang bersertifikat. Tapi yah, karena taruhannya adalah jiwa sekian ratus anak-anak generasi bangsa, mereka sepertinya tak mau kecolongan.
Di Jepang pun ada adab khusus saat menjamu tamu. Sebelum tamunya makan, adalah lebih baik bila tuan rumah lebih dulu melakukan aksi 'cicip-cicip', sambil mengatakan kalimat yang kurang lebih berarti, "...saya membuktikan makanan ini aman..."
Sekarang saya mengerti, dengan mengjarkan adab makan yang seperti itu, bisa juga jadi sarana membangun harga diri pada anak-anak. Selanjutnya akan turut membangun karakteristik mereka, agar lebih punya sikap mulia tidak hanya dalam hal makan.
Para pendidik semestinya memberi porsi perhatian yang lebih besar saat makan ini. Urusan makan adalah hal yang sangat vital bagi setiap manusia. Karenanya, menjadi waktu yang sangat strategis untuk menanamkan nilai-nilai moral terhadap anak-anak khususnya. Sayang sekali, kebanyakan lembaga formal seperti sekolah di Indonesia, menganggap saat makan hanyalah sekedar aktifitas isi lambung penghalau rasa lapar. Para pendidik sering lalai memperhatikan sikap-sikap anak-anak yang perlu dibenahi, bahkan mungkin tidak sedikit dari mereka yang belum punya ide tentang apa saja sikap yang tidak patut saat makan.
Selain membangun harga diri, melatih anak makan dengan adab makan yang semestinya, ternyata juga bisa berefek positif dalam membangun keteraturan atau kedisiplinan.
Suatu saat, ketika baru mulai menetap di tanah air, saya hendak memasukkan napkin (serbet alas makan) di tas bekal anak-anak. Hari berikutnya, Si Tengah menolak napkin itu.
"...malu, Ma. Nggak ada teman yang pake napkin."
"Kenapa malu? Ini supaya nggak kotor. Kalau ada yang tumpah, bisa dibersihkan. Toh, di Jepang juga kan udah terbiasa begini."
"Hahaha... Mama... Mama..., beda, Ma! Di sekolah kalau makan sama sekali gak teratur. Ada yang makan di koridor, duduk di lantai. Ada juga yang makan di tangga. Banyak yang cuekin makanannya jatuh di lantai."
"Gurunya nggak negur?" tanya saya sambil ingatan melayang ke saat saya menjemput si Tengah lantaran sedang sakit. Saat itu, bertepatan dengan jam makan siang. Saya agak susah sampai di pintu kelas karena di sepanjang koridor, di sana-sini anak-anak duduk melantai sambil memangku bekal makan siang mereka.
"Nggak, Ma... Guru nggak negur lah kalau soal begituan."
"Iyah..., Ma...," Si Sulung ikut menimpali, "...padahal dulu di Jepang, kalo nggak bawa napkin, diingatkan guru, dan nggak boleh tambah. Kalau ada nasi yang jatuh, semuanya pada kayak gimanaaa gitu, jijik, takut kalo sampe injek nasi. Jadinya malu banget kalau makan berserakan."
Ya, saya masih ingat pemandangan itu. Di setiap rando se-ru atau tas khusus anak SD Jepang, selalu saja ada kantong kain kecil yang digantungkan di sisinya. Sebelum anak-anak sekolah, saya selalu penasaran, kantong apakah itu. Ternyata, itu adalah kantong tempat menyimpan napkin/serbet alas makan.
Jika kemudian masyarakat Jepang mudah diatur, memang wajar. Pendidikannya sudah diterapkan betul sejak kecil, bukan sebatas teori yang diulangankan, tapi dipraktekkan langsung dalam urusan yang sangat vital : makan. Tanpa nilai dari guru, tapi didikan langsung dalam kehidupan sehari-hari yang alami.
Boleh jadi, 'ketabahan' para orangtua/pendidik menerapkan adab makan itu yang juga yang mendidik orang Jepang tumbuh jadi manusia yang puraido-ga-takai, punya harga diri, tak gampang meminta-minta. Selama di Jepang, saya belum pernah melihat pengemis. Bahkan, yang hidup sebagai gelandangan pun, tak terlihat pergi ke sana ke mari menengadahkan tangan mereka.*
Nesia Andriana Arif, Penulis "Dengan Pujian, Bukan Kemarahan".
Sumber
"Iyah. Tapi... huh... pasti pada minta-minta," keluhnya.
"Minta-minta?"
"Iyah, Ma!" si Sulung ikut menimpali, "...di sekolah tuh, anak-anaknya pada minta-minta. Terus kalo gak dikasih, bilangnya gini, '...kalo gak ngasih, gak jadi temen!' ..."
"...atau dibilangi, 'dasaaar, pelit luh!' " imbuh Si Tengah lagi.
"Aduh, kenapa begitu, ya? Apa gak punya harga diri? Dari kecil sudah gampang minta-minta, dan jadi marah kalo gak dikasih," keluh saya sambil menutup tempat bekal.
***
Ada sebuah hadits yang sangat popular tentang kebaikan “tangan di atas daripada tangan di bawah”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْه ِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ ، وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.
"Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barangsiapa mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya. Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)." [alhadits]
Yang namanya anak-anak, wajar saja kalau marah jika tidak diberi. Namun, tradisi seperti ini nampaknya tidak begitu membudaya di masyarakat Jepang, pun kanak-kanak. Suatu ketika anak saya pernah mengomentari masalah ini.
"Iyah, Ma! Beda banget dengan teman di Jepang. Jarang ada yang mau minta-minta, puraido ga takai [pride-nya tinggi]," kata Si Sulung lagi.
Saya ingat dulu, Si Sulung selalu membawa bekal ke sekolah, sementara teman-temannya makan masakan di sekolah. Sesekali saya berniat melebihkan isi bekalnya karena seorang anak yang sering main di rumah, sangat menggemari jenis makanan yang baru saya buat tersebut.
"Nggak boleh, Ma. Nggak boleh bagi-bagi makanan dari rumah di sekolah," tolak Si Sulung saat itu.
Meski terdengar aneh dan asing di 'telinga Indonesia' saya --sedikit banyak-- mengerti tujuan larangan tersebut. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Kerap ada kasus kejahatan meracuni orang di Jepang. Wajar bila pihak sekolah berhati-hati untuk melindungi anak didiknya. Tidak tanggung-tanggung. Masakan di sekolah pun, harus dicek dulu aman tidaknya oleh kepala sekolah.
Beliau diwajibkan makan sejam sebelum tibanya waktu makan siang anak-anak. Agar bila masakan di sekolah itu berbahaya, selaku pimpinan, beliau yang lebih dulu ambil resiko terkena dampaknya. Padahal, yang masak adalah koki 'kiriman' pemerintah yang bersertifikat. Tapi yah, karena taruhannya adalah jiwa sekian ratus anak-anak generasi bangsa, mereka sepertinya tak mau kecolongan.
Di Jepang pun ada adab khusus saat menjamu tamu. Sebelum tamunya makan, adalah lebih baik bila tuan rumah lebih dulu melakukan aksi 'cicip-cicip', sambil mengatakan kalimat yang kurang lebih berarti, "...saya membuktikan makanan ini aman..."
Sekarang saya mengerti, dengan mengjarkan adab makan yang seperti itu, bisa juga jadi sarana membangun harga diri pada anak-anak. Selanjutnya akan turut membangun karakteristik mereka, agar lebih punya sikap mulia tidak hanya dalam hal makan.
Para pendidik semestinya memberi porsi perhatian yang lebih besar saat makan ini. Urusan makan adalah hal yang sangat vital bagi setiap manusia. Karenanya, menjadi waktu yang sangat strategis untuk menanamkan nilai-nilai moral terhadap anak-anak khususnya. Sayang sekali, kebanyakan lembaga formal seperti sekolah di Indonesia, menganggap saat makan hanyalah sekedar aktifitas isi lambung penghalau rasa lapar. Para pendidik sering lalai memperhatikan sikap-sikap anak-anak yang perlu dibenahi, bahkan mungkin tidak sedikit dari mereka yang belum punya ide tentang apa saja sikap yang tidak patut saat makan.
Selain membangun harga diri, melatih anak makan dengan adab makan yang semestinya, ternyata juga bisa berefek positif dalam membangun keteraturan atau kedisiplinan.
Suatu saat, ketika baru mulai menetap di tanah air, saya hendak memasukkan napkin (serbet alas makan) di tas bekal anak-anak. Hari berikutnya, Si Tengah menolak napkin itu.
"...malu, Ma. Nggak ada teman yang pake napkin."
"Kenapa malu? Ini supaya nggak kotor. Kalau ada yang tumpah, bisa dibersihkan. Toh, di Jepang juga kan udah terbiasa begini."
"Hahaha... Mama... Mama..., beda, Ma! Di sekolah kalau makan sama sekali gak teratur. Ada yang makan di koridor, duduk di lantai. Ada juga yang makan di tangga. Banyak yang cuekin makanannya jatuh di lantai."
"Gurunya nggak negur?" tanya saya sambil ingatan melayang ke saat saya menjemput si Tengah lantaran sedang sakit. Saat itu, bertepatan dengan jam makan siang. Saya agak susah sampai di pintu kelas karena di sepanjang koridor, di sana-sini anak-anak duduk melantai sambil memangku bekal makan siang mereka.
"Nggak, Ma... Guru nggak negur lah kalau soal begituan."
"Iyah..., Ma...," Si Sulung ikut menimpali, "...padahal dulu di Jepang, kalo nggak bawa napkin, diingatkan guru, dan nggak boleh tambah. Kalau ada nasi yang jatuh, semuanya pada kayak gimanaaa gitu, jijik, takut kalo sampe injek nasi. Jadinya malu banget kalau makan berserakan."
Ya, saya masih ingat pemandangan itu. Di setiap rando se-ru atau tas khusus anak SD Jepang, selalu saja ada kantong kain kecil yang digantungkan di sisinya. Sebelum anak-anak sekolah, saya selalu penasaran, kantong apakah itu. Ternyata, itu adalah kantong tempat menyimpan napkin/serbet alas makan.
Jika kemudian masyarakat Jepang mudah diatur, memang wajar. Pendidikannya sudah diterapkan betul sejak kecil, bukan sebatas teori yang diulangankan, tapi dipraktekkan langsung dalam urusan yang sangat vital : makan. Tanpa nilai dari guru, tapi didikan langsung dalam kehidupan sehari-hari yang alami.
Boleh jadi, 'ketabahan' para orangtua/pendidik menerapkan adab makan itu yang juga yang mendidik orang Jepang tumbuh jadi manusia yang puraido-ga-takai, punya harga diri, tak gampang meminta-minta. Selama di Jepang, saya belum pernah melihat pengemis. Bahkan, yang hidup sebagai gelandangan pun, tak terlihat pergi ke sana ke mari menengadahkan tangan mereka.*
Nesia Andriana Arif, Penulis "Dengan Pujian, Bukan Kemarahan".
Sumber
Ikuti @ilove_ramadhan