Ada banyak hal yang dapat kita renungkan selama bulan Ramadan. Di bulan ini, seolah kita berlomba menjadi orang baik, namun jatuhnya seolah jadi 'musiman'.
Yang pertama kita puasa, yang bertujuan membersihkan diri dan hati dari hawa nafsu dan dosa yang telah kita lakukan. Lalu malam hari dihiasi dengan berbagai ibadah sunnah dan bacaan Al Qur'an, begitu merdu di awal Ramadan namun memasuki pertengahan, kembali sepi. Apa ini tandanya banyak yang beribadah dengan 'musiman'?
Seyogianya tidak! Karena sebenarnya ibadah yang baik itu bukan hanya milik bulan Ramadan. Justru tantangannya adalah mampukah kita pasca Ramadan mempertahankan status 'orang baik' yang kita sempat sandang?
"Jika kalian jatuh miskin, maka berdaganglah dengan Allah Ta'ala dengan bersedekah. Mohonlah (kepada Allah SWT) agar diturunkan-Nya rezeki-Nya dengan cara banyak bersedekah. Sesungguhnya hari raya Idul Fitri adalah bagi orang-orang yang diterima ibadah puasanya oleh Allah dan diberi pahala Salat malamnya. Dan setiap hari yang di dalamnya Allah tidak dimaksiati, maka ia adalah Hari Raya. Sesungguhnya zakat dijadikan bersama salat sebagai kurban bagi para pemeluk Islam. Barangsiapa yang mengeluarkan zakat dengan jiwa yang baik, maka ia (zakat itu) menjadi kaffarat baginya dan menjadi penghalang dari api neraka." (Seri Kata-Kata Mutiara Amirul Mukminin Imam Ali ibn Abi Thalib RA)
Persoalan kebendaaan adalah soal sehari-hari dan bukan hanya di bulan Ramadan bukan? Maka, sedekah yang getol kita lakukan selama Ramadan jangan terputus begitu memasuki bulan Syawal. Sering terjadi, sikap begini karena kita kurang tulus dalam memberinya. Saat bersedekah, di otak kita hanya fokus pada "jika saya sedekah, saya dapat pahala" dan bukannya "saya sedekah karena saya peduli, barangkali dia lapar". Kita egois justru disaat melakukan aksi peduli.
Itulah kenapa, seringkali semangat ibadah terjun bebas selepas Ramadhan. Aji mumpung mengejar 'setoran pahala' dari Allah semestinya tidak lagi menjadi fokus utama. Marilah kita beribadah dengan landasan yang logis dan membumi. Jangan sampai terjebak dengan 'tukar guling' antara amal dengan pahala. Benar, Allah banyak menjanjikan pahala bagi setiap perbuatan baik, namun jangan sampai itu menjadi hal yang membutakan.
Menolong orang susah bukan karena melihat orangnya, tapi hanya karena pahalanya. Ibadah bukanlah seperti berbelanja di grosir, ada yang ada barang, ada amal ada pahala, tapi ibadah merupakan bukti kita berterima kasih pada Allah dan mewujudkan kelembutan hati kepada sesama manusia.
Sumber: www.detik.com
Yang pertama kita puasa, yang bertujuan membersihkan diri dan hati dari hawa nafsu dan dosa yang telah kita lakukan. Lalu malam hari dihiasi dengan berbagai ibadah sunnah dan bacaan Al Qur'an, begitu merdu di awal Ramadan namun memasuki pertengahan, kembali sepi. Apa ini tandanya banyak yang beribadah dengan 'musiman'?
Seyogianya tidak! Karena sebenarnya ibadah yang baik itu bukan hanya milik bulan Ramadan. Justru tantangannya adalah mampukah kita pasca Ramadan mempertahankan status 'orang baik' yang kita sempat sandang?
"Jika kalian jatuh miskin, maka berdaganglah dengan Allah Ta'ala dengan bersedekah. Mohonlah (kepada Allah SWT) agar diturunkan-Nya rezeki-Nya dengan cara banyak bersedekah. Sesungguhnya hari raya Idul Fitri adalah bagi orang-orang yang diterima ibadah puasanya oleh Allah dan diberi pahala Salat malamnya. Dan setiap hari yang di dalamnya Allah tidak dimaksiati, maka ia adalah Hari Raya. Sesungguhnya zakat dijadikan bersama salat sebagai kurban bagi para pemeluk Islam. Barangsiapa yang mengeluarkan zakat dengan jiwa yang baik, maka ia (zakat itu) menjadi kaffarat baginya dan menjadi penghalang dari api neraka." (Seri Kata-Kata Mutiara Amirul Mukminin Imam Ali ibn Abi Thalib RA)
Persoalan kebendaaan adalah soal sehari-hari dan bukan hanya di bulan Ramadan bukan? Maka, sedekah yang getol kita lakukan selama Ramadan jangan terputus begitu memasuki bulan Syawal. Sering terjadi, sikap begini karena kita kurang tulus dalam memberinya. Saat bersedekah, di otak kita hanya fokus pada "jika saya sedekah, saya dapat pahala" dan bukannya "saya sedekah karena saya peduli, barangkali dia lapar". Kita egois justru disaat melakukan aksi peduli.
Itulah kenapa, seringkali semangat ibadah terjun bebas selepas Ramadhan. Aji mumpung mengejar 'setoran pahala' dari Allah semestinya tidak lagi menjadi fokus utama. Marilah kita beribadah dengan landasan yang logis dan membumi. Jangan sampai terjebak dengan 'tukar guling' antara amal dengan pahala. Benar, Allah banyak menjanjikan pahala bagi setiap perbuatan baik, namun jangan sampai itu menjadi hal yang membutakan.
Menolong orang susah bukan karena melihat orangnya, tapi hanya karena pahalanya. Ibadah bukanlah seperti berbelanja di grosir, ada yang ada barang, ada amal ada pahala, tapi ibadah merupakan bukti kita berterima kasih pada Allah dan mewujudkan kelembutan hati kepada sesama manusia.
Sumber: www.detik.com
Ikuti @ilove_ramadhan